Kamis, 13 Juli 2017

Hi Dieng Season 4! Perjalanan Baperan!

Sunrise Sikunir
“Semua yang ada di dunia ini tidak ada yang tidak berubah, 
kecuali kenangan dan masa lalu”
AI_02-03 Juli 2017

Widiihhhh, setelah vacum dan menghilang entah berapa lamanya. Saya langsung bikin quote galau. Sok-sokan terbawa kisah cerita di masa lalu ni yee. Tapi bener, perjalanan kali ini adalah perjalanan penuh dengan rasa baper (bawa perasaan).

Hi Dieng Season 4 ini adalah perjalanan ke Dieng yang ke empat kawan. Negeri yang penuh rahmat ini memang tidak bosan-bosannya untuk “minta” dikunjungi. Bikin kangen. Perjalanan kali ini juga yang paling tidak mudah.  Setelah bekerja keras mencari partner yang terus saja maju mundur kayak undur-undur (karena banyak keperluan di luar kuasa saya) kami akhirnya lengkap dengan formasi tujuh orang. Ehhh, tujuan dan waktu berangkat tinggal di depan mata, ada lagi tantangannya yaitu kejadian alam yang sangat akrab dengan kehidupan saya di tepian gunung. Kawah Sileri mengalami letusan freatik pada tanggal 2 Juli 2017 jam 12.00 WIB. Hello, nanti malam jam 20.00 kami berangkat ke sana, dan di tanggal yang sama sore itu juga kami mendengar kabar adanya letusan ini. Duh, firasat saya jadi tidak enak, dan benar saja. Semua teman yang sebelumnya sempat saya hubungi untuk saya ajak ke Dieng memberi saya berita yang sudah saya tahu dengan jelas. Tentu saja mereka khawatir, namun yang saya khawatirkan adalah restu dari orang tua saya dan teman-teman saya yang sudah membulatkan tekad untuk ke Dieng. Akhirnya dengan berbagai pengertian, ijin keluar kami bertujuh disetujui dan berangkatlah kami ke Dieng dengan penuh ridho dan restu.

Oke sebagai catatan saja, pertama, di Dieng banyak kawah aktif ya teman-teman. Baik Sileri, Sinila, Candradimuka, maupun Sikidang sekalipun bisa meletus kapan saja. Hanya yang membedakannya adalah besarnya letusan dan jenis letusan. Tidak semua yang bisa dilihat dengan mata berbahaya dan tidak semua yang tidak bisa dilihat itu berarti aman. Ingat peristiwa di Dieng tahun 1979? Waktu itu kawah Sinila meletus dan mengeluarkan gas beracun yang notabene tidak berwarna dan tidak berbau. Peristiwa itu menyebabkan 149 orang tewas di tempat saat sedang berusaha mengungsi. Kedua, mitigasi bencana yang harus diperhatikan. Saya sudah bolak-balik ke Dieng (ini bukan berarti sombong lo ya), dan jelas sekali di setiap wilayah wisata ada tanda-tanda dan peringatan yang harus kita patuhi. Ada banyak papan informasi di sana terkait dengan jarak aman kunjungan di kawah, pagar pembatas, waspada gas beracun, dan rambu-rambu arah evakuasi. Jika teman-teman mematuhi rambu-rambu ini maka insyaallah, aman. Bencana itu teman kita sehari-hari kawan. Mereka bukan penghalang kita untuk beraktivitas namun harus kita kenali sehingga kita bisa bersahabat dengannya. Oke sampai di sini ngoceh saya!

Kami berangkat malam itu juga dan sampai di Dieng pukul 00.00. Dini hari kawan. Tujuan pertama sekaligus basecamp kami adalah di Sikunir. Kami berencana mengawali hari itu dengan surise di sana. Saat pintu mobil kami buka langsung saja dinginnya dataran tinggi Dieng langsung bernostalgia dengan saya. Owh... romantis sekali jika mengingat saat pertama kalinya saya ke sini bulan Desember 2010. Waktu itu saya kuliah lapangan di Dieng selama kurang lebih empat hari. Selain dinginnya yang menggigit kulit kenangan lainnya adalah saya betah tidak mandi selama saya tinggal di sini. Hahaha maafkan saya ya guys. Lanjut, kami langsung saja mengeluarkan berbagai peralatan camping yang sudah kami siapkan dan mendirikan tenda secepatnya. Kami mulai bebenah tempat kami akan tidur sambil memasak air untuk membuat cokelat panas. Dini hari itu menjadi obrolan singkat yang hangat di tengah dingin yang selalu saya rindukan. Tak lama setelah itu kami memutuskan untuk istirahat sebelum pendakian besok pagi. Kami berlima (cewek semua) tidur di tenda dan dua jagoan kami tidur di mobil. Akhirnya malam itu walau menggigil kedinginan saya masih bisa tidur sambil bergulat dengan teman saya biar hangat.
Sampai Puncak, Blacklight mode on
Adzan subuh membangunkan kami. Suara pagi itu seperti halnya pasar. Banyak sekali suara yang kami dengar namun tidak begitu jelas. Tenda di samping kanan kiri kami sudah kosong dan beberapa sudah berjalan naik ke atas puncak. Setelah sholat subuh saya sepenuhnya terbangun. Bagaimana tidak, muka dan tubuh saya tertampar saat mengambil air wudhu. Dingin sekali! Persiapan kami lengkap dan kami memutuskan untuk melakukan pendakian mini ini.

Wiiih saya kembali baperan! Kali ini saya terbengong-bengong. Dulu jalan yang saya lalui adalah jalan yang digunakan oleh petani naik turun membawa hasil bumi, sekarang adalah jalan selebar kurang lebih 3 meter yang bisa di lalui mobil. Dulu yang kanan kirinya berhiaskan tanaman dan sayuran khas Dieng sekarang berganti warung dan tempat beristirahat. Dulu yang puncaknya penuh dengan pepohonan dan ilalang sekarang penuh dengan orang! Eh salah maksud saya lapang sehingga banyak orang yang berlalu lalang. Bahkan di puncak tertinggi ada toiletnya teman. Sungguh luar biasa. Saya ternganga melihatnya. Mata saya bahkan merem melek saat berusaha mempercayai apa yang saya lihat. Dunia begitu cepat sekali berubah. Atau saya yang kudet? Entahlah. Formasi kami yang bertujuh sudah berpencaran. Hanya empat dari kami yang sampai puncak. Jagoan saya yang satu sudah turun duluan karena urusan urgent. Dua adik saya sudah senewen dan memutuskan untuk turun juga. Tiga temen saya sudah muncak dan tinggallah saya yang melancong sendirian. Jalannya yang jelas pun masih membuat saya ke sasar teman. Salah puncak, emang nasib saya kali ya nyasaran! Namun saya berhasil menemukan ketiga teman saya yang sudah muncak. Komentar saya untuk sunrise Sikunir adalah luar biasa. Nggak nyesel deh walau naiknya cukup ngos-ngosan dan membuat mabuk gunung saya kumat. Amazing, daebak, dan thumb up!

Setelah pendakian Sikunir ini selesai, kami kembali ke basecamp dan membuat sarapan sebelum kembali berwisata. Dengan kompor dan bekal seadanya, kami menganjal perut kami sebelum pergi ke destinasi selanjutnya sambil memandangi telaga Cebong di depan kami mendirikan tenda. Batu ratapan angin!

Batu ratapan angin, ini tujuan yang baru pertama kali saya datangi. Dulu tidak ada. Kenapa di sebut sebagai batu ratapan angin? Ini karena di bukit tempat kita bisa memandangi Telaga warna dan Telaga Pengilon ini berdiri bongkahan batu besar yang menjulang secara vertikal, dari celah-celah batu ini, jika tertiup oleh angin, terdapat suara-suara unik di sekitarnya. Nah pemandangan dari sini juga luar biasa sebanding dengan perjuangannya. Lokasinya tidak jauh dari Dieng Plateau Theater teman. Jejer malah! Nah dari puncak sini kita bisa mengambil banyak foto yang sangat indah dan juga wahana-wahana yang  bisa kita nikmati seperti halnya jembatan merah putih, tempat selfie, sampai flying fox. Kami menghabiskan waktu kami di sini dengan berfoto-foto. Jujur ini tempat kami paling banyak berfoto karena pemandangannya. Di Sikunir, seindah apapun pemandangnnya, foto kami tetap aja blacklight karena membelakangi cahaya.

Destinasi kami selanjutnya adalah Telaga Warna dan Telaga Pengilon. Kami mampir dan kembali berfoto-foto di sana. Tidak ada yang berubah. Masih saja sama seperti saya ke sini terakhir kali (Tahun 2012) hanya saja yang bertambah adalah wahana dan pedagangnya yang tambah. Kami tidak lama di sini karena sudah siang dan kami juga sudah mulai lelah mengingat tadi pagi bangunnya kepagian dan juga melakukan pendakian. Kami memutuskan untuk makan siang dan sampailah kami ditempat orang berjualan mie ayam (mie lagi! Setelah tadi pagi sarapan mie). Judulnya kami menganjal perut, belum makan nasi sehingga belum bisa dikatakan makan, namanya aja orang Indonesia ya. Hehe.
Narsis saya ditempat yang sama, at Telaga Warna
Setelah makan siang, bukannya kami tambah semangat. Kami malah mulai lelah dan mengantuk. Kami mencapai puncak kelelahan namun teman-teman saya tidak bilang dengan jujur. Akhirnya, saya sedikit dongkol saat mengeluarkan uang banyak untuk membeli tiket namun justru ke empat pasukan memilih tidur di dalam mobil. Hello, tau gitu tadi kami jalan aja ke sana. Sialan. Saya akhirnya keluar dari mobil demi meredakan mood saya. Janganlah sampai down di sini. Pasukan yang hanya tinggal tiga orang ini menghibur diri di kawah Sikidang. Ingat menghibur diri ya bukan menceburkan diri! Saya kembali shyok teman-teman. Wilayah di sekitaran kawah sekarang jadi tempat ajang selfie. Banyak sekali spot untuk berfoto di sini. Bahkan ada yang jualan telur yang di rebus di kawah! Duh, saya tepok jidat. Ya tidak dapat dipungkiri bahwa sekarang wisata ini menjadi mata pencaharian mereka namun keselamatan tetap nomor satu kan ya? Dan sisi negatifnya, semua tempat selfie ini bayar, saya hanya tersenyum saja saat ditawari untuk berfoto. Maaf ya pak, saya lelah dan menganut paham naturalisme. Hehe.

Kawah Sikidang, banyak tulisannya! Top selfie!
Di kawah Sikidang ini kami hanya berkeliling sambil saya cerita apa yang saya peroleh waktu kuliah lapangan di sini. Teman saya juga sudah sama lelahnya, bau belerang yang sama masih membuat saya cepat-cepat ingin pergi, dan galeri kami sudah di rasa cukup sehingga kami memutuskan untuk angkat kaki dari tanah hangat yang kami pijak. Duh hati saya deg-degan juga kalau sewaktu-waktu tanah yang saya pijak ini berubah menjadi kawah. Selepas kami ke toilet dan membersihkan diri kami kembali ke mobil dan memutuskan untuk pulang. Jam menunjukkan pukul 13,30 dan kami memilih untuk pulang. Kami menyia-nyiakan tiket kami ke Candi Arjuna, oh jangan ingatkan lagi! Tidaakkk!

Sepanjang perjalanan pulang saya tewas. Lelah menghampiri saya dan membuat saya tidak kuat menahan kantuk. Hanya dua jagoan sopir kami dan temen saya yang terus ngoceh sepanjang perjalanan pulang. Dalam perjalanan wisata kami ini, kami iseng-iseng meliput. Kebetulan dua jagoan kami ini suka sekali dengan fotografi dan videografi lalu didukung oleh teman saya pula yang suka ngomong. Akhirnya mereka membuat liputan yang membuat orang bertanya-tanya kami dari stasiun TV mana. Haha. Cukup unik mengingat angel dan juga spot-spot yang sempat missing.

Nah kisah baperan ini selesai. Banyak sekali yang berubah kan? Yang tidak adalah kenangan di benak saya. Saya ke sini juga dengan formasi yang berubah namun tetap saja kenangan yang saya buat kali ini tetaplah luar bisa. Dieng memang menawarkan keunikannya. Tidak hanya sebagai negeri di atas awan, negeri di atas bara api, namun juga menampilkan dua sisi yang berbeda dalam satu wadah yang sama. Di sini sumber panas bumi dan juga dinginnya pegunungan berjalinan membentuk cuaca yang cenderung berbeda  dari wilayah Indonesia lainnya. Banyak sekali cerita yang ingin dibagikan, banyak sejarah yang perlu diungkapkan, banyak cerita alam yang ingin dibisikkan dan cerita lain yang harus diwariskan demi kelangsungan tanah para dewa ini. Selamat mengeksplorasi Dieng, selamat berwisata dan selalu patuhi aturan alam yang ada!
Happy Holiday!

Tiket:
Masuk Dieng : @ Rp 10.000
Sikunir  : @Rp 10.000
Batu Ratapan Angin : @Rp 10.000
Telaga Warna : @Rp 6000
SiKidang dan Candi Arjuna: @Rp 15.000
People in Frame : Angga, Rendy, Ana, Ayu, Tiwi, Devi, Intan
Foto Credit : Angga dan Rendy
Selfie : Siapa aja boleh asal kita bahagia.

HEHEHE, SEE YOU AGAIN!!      
Pasukan di Telaga Warna
Pemandangan dari Batu Ratapan Angin, Keceeehhh!!!
Basecamp Sikunir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar